EQUATOR, Jakarta – Wakil Ketua DPR RI, Azis Syamsuddin akhirnya dijemput paksa oleh penyidik Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) di kediaman, Jakarta Selatan, pada Jumat (24/09/2021).
Hal itu dilakukan KPK lantaran Azis Syamsuddin sebelumnya enggan hadir saat dipanggil melalui ‘surat panggilan’ penyidik, dengan dalih sedang melakukan isolasi mandiri (isoman).
Dikutip dari Kompas.com, sebelum dicokok KPK, politisi Partai Golkar tersebut sempat membuat surat balasan kepada penyidik, dengan maksud melakukan ‘tawar’ terkait tanggal pemanggilan dirinya. Di dalam surat itu, Azis meminta agar ia diperiksa bulan depan saja, yakni pada tanggal 4 Oktober 2021 hari Senin.
“Sehubungan dengan surat panggilan KPK No. SPGL/4507/DIK.01.00/23/09/2021 tanggal 15 September 2021, di mana saya diminta menghadap penyidik KPK pada hari Jumat, 24 September 2021 untuk didengar keterangannya, maka saya dengan ini bermaksud menyampaikan permohonan penundaan pemeriksaan tersebut menjadi tanggal 4 Oktober 2021,” bunyi isi surat tersebut.
Namun demikian, KPK menolak ‘tawaran’ itu dan langsung bergerak untuk menjemput paksa Azis Syamsuddin.
Dikutip dari Detik.com, berdasarkan hasil swab test yang dilakukan kepada Azis Syamsuddin, menyatakan bahwa Azis Syamsuddin dinyatakan negatif Covid-19.
Usai dijemput KPK, Azis Syamsuddin pun kemudian ditahan KPK. Sejurus kemudian, KPK menetapkan Azis Syamsuddin sebagai tersangka terkait dugaan suap kepada eks penyidik KPK, AKP Stepanus Robin Pattuju (SRP) mengenai perkara DAK Kabupaten Lampung Tengah.
Azis ditahan selama 20 hari ke depan atau terhitung mulai 24 September hingga 13 Oktober 2021 di Rutan Polres Jakarta Selatan.
Terkait dengan kasusnya, Azis Syamsuddin menjanjikan uang kepada AKP Robin sebesar Rp 4 miliar, namun baru terealisasi Rp 3,1 miliar. Pemberian uang itu dilakukan di rumahnya sebanyak tiga kali pada Agustus 2020 lalu.
Atas perbuatannya tersebut, Azis Syamsuddin disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (FikA)
Beri dan Tulis Komentar Anda