
Innalillahi wainna ilaihi rojiun
Hari ini, dunia pers kehilangan satu denyut nadi terakhirnya. Seorang lelaki tua yang dulu berdiri paling depan saat semua orang mulai membungkuk pada tren, algoritma, dan kecepatan berita yang tak lagi peduli pada kebenaran. H. Djunaini KS, telah kembali ke pangkuan Ilahi.
Kabar duka saya dapat pihak keluarganya yang menginformasikan beliau wafat pada Sabtu, 7 Juni 2025, jam 08.28 WIB di Rumah Sakit Medika Jaya, Pontianak. Rumah Duka di Jl. Parit H Husein II Komp Alexgriya I Blok B No.12, Pontianak. Baru saja jenazah beliau dikebumikan.
Bersama kepergiannya, seakan satu bagian sejarah jurnalisme Kalbar ikut ditarik dari sumbu waktu, dan hancur perlahan menjadi debu kenangan.
Kami alumni Harian Equator dan Rakyat Kalbar memanggilnya Bos Jun. Bukan karena ia kaya. Tapi karena ia memang bos, bos dari segala bos dalam dunia tulis-menulis. Ia tidak pernah memberi pujian, apalagi memanjakan. Kalau tulisanmu jelek, ia takkan berkata “kurang bagus”. Tidak. Ia akan bilang, “Ini tulisan? Ini penghinaan terhadap akal sehat!” Lalu ia akan memarahi, kadang memaki, dan memanggilmu dengan penghuni kebun binatang. Kau akan masuk ke ruangannya dengan gemetar, dan keluar dengan naskah yang lebih kuat tapi juga jiwa yang lebih tajam. Itulah cinta versi Bos Jun, keras, dingin, jujur, dan sangat menyelamatkan.
Ia tak percaya pada wartawan yang malas. Tak peduli kau anak siapa, atau lulusan apa. Kalau datamu tidak lengkap, kutipanmu lemah, dan kalimatmu tumpul, dia akan membentak. Kadang disuruh turun lagj ke lapangan. Tapi anehnya, di balik bentakan itu, tersembunyi satu bentuk kasih sayang yang tak terucap. Ia ingin kau menjadi lebih dari sekadar juru ketik. Ia ingin menjadikanmu pejuang. Yang paling ganjil, dan menyakitkan, adalah kini setelah beliau tiada, kami baru sungguh mengerti cinta seperti apa yang selama ini beliau ajarkan.
Kemudian, cerita lainnya, bila sore hari jelang magrib, para wartawan dan redaktur sudah di kantor semua, Bos Jun juga datang. Ia tidak langsung kerja, melainkan pergi ke pantry, membuka rak bumbu, dan mulai memasak. Memasak bukan untuk dirinya saja melainkan untuk seluruh wartawan, redaktur, dan tenaga layouter. Selalu ada kode, “teng..teng..teng!” Bunyi piring diketuknya, tanda makanan sudah siap di meja redaksi.
Kami duduk mengelilingi meja, menyantap hasil masakannya, seolah kami bukan karyawan dan atasan, tapi satu keluarga yang tengah belajar menjadi manusia jujur di dunia yang semakin penuh tipu daya. Bukan satu malam, melainkan hampir tiap malam ia memasak untuk anak buahnya.
Dari ruko kecil di Nusa Indah, Pontianak, Bos Jun membangun Harian Equator. Dari ruko sederhana, dengan komputer jadul, dan terus membesar, hingga berdiri megah kantor baru di Jalan Ayani. Gedung Graha Equator pernah jadi simbol kekuatan pers di Kalbar. Tapi kini gedung itu kosong, sunyi, ditinggal oleh zaman dan arwah jurnalisme cetak. Hari ini, sang arsitek utamanya pun dipanggil pulang. Tidak dengan upacara megah. Koran yang ia bangun sudah lama tutup dan sekarang giliran Bos Jun menghadap Sang Penciptanya.
Saya pernah dimarahi oleh beliau. Berkali-kali. Diolok, disuruh riset ulang, bahkan ditertawakan karena tulisan saya dianggap “lebih cocok untuk selebaran kampanye politik” Walau pun saya sudah lama resign, sangat lama tak ketemu beliau, kenangan itu tak pernah hilang. Ilmu yang diajarkan tetap selalu saya ingat.
Bukan hanya saya pernah dimarah, melainkan hampir semua wartawan pernah merasakan amarah Bos Jun. Di balik amarah beliau, ia ingin kami benar-benar serius menjadi seorang jurnalis. Hasilnya, banyak di antara kami yang mendirikan media sendiri, bahkan ada CEO media. Ada jadi penulis buku, wartawan di Antara, wartawan di sejumlah media besar. Saya sendiri walau tak lagi wartawan, sekarang menjadi dosen dengan tetap menulis. Tulisan yang saya hasilkan setiap hari juga tak lepas dari sentuhan tangan Bos Jun.
Selamat jalan, Bos Jun. Engkau bukan hanya guru. Engkau adalah kobaran api terakhir yang menyala dalam gelapnya dunia wartawan hari ini. Kini, saat api itu padam, hanya kami yang tersisa, menggigil dalam dingin. Tapi kami akan terus menulis. Dengan air mata. Dengan integritas. Dengan semangatmu yang takkan mati. Al-Fatihah. Untukmu, guru kami, bos kami, inspirasi kami.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar