EQUATOR, Sanggau. Pasca menang praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Sanggau yang diajukan Santi Annisa atas penghentian penyidikan tewasnya Hendrikus Hendra alias Apin, 42, di Desa Embala, Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat pada 18 Agustus 2022 lalu, penanganan perkara dugaan pembunuhan kakak kandungnya itu kini ditangani Polda Kalbar dari sebelumnya ditangani Polres Sanggau.
Namun, setelah sekian bulan perjalanan perkara tersebut, pihak keluarga dari keluarga sedarah korban mencium adanya dugaan kuat upaya rekayasa yang dilakukan sejumlah oknum atas perkara kematian Apin.
“Oknum ini terus berbohong dengan kami pihak keluarga. Pernyataan-pernyataan yang mereka lontarkan berbeda dengan fakta-fakta yang saya dapatkan, termasuklah bertentangan dengan hasil otopsi awal yang dilakukan ahli forensik Monang Siahaan,” kata Adik kandung Hendrikus Hendra alias Apin, Santi Annisa kepada wartawan, Rabu (12/10/2022).
Dugaan rekayasa keterlibatan oknum atas kematian Apin menurut Santi makin mengungat setelah dokter Monang Siahaan menyampaikan hasil otopsi yang berbeda dari hasil yang semula dipublis di media massa tanggal 16 Juni 2022.
“Diberita yang disampaikan dokter Monang Siahaan ada kejanggalan atas meninggalnya Apin. Kejanggalan yang ia temukan berdasarkan keterangan awal bahwa istrinya cepat sekali menguburkan almarhum, tidak memberitahu warga dan dari cerita penyidik korban ini kasar kepada anak-anaknya. Polisi bisa saja mendalami alibi itu,” cerita Santi mengungkapkan pernyataan Monang Siahaan sebelumnya yang ia ingat betul kalimat perkalimatnya.
Santi menyebut, Monang Siahaan sebagai ahli forensik sipil juga pernah mengungkapkan fakta yang ia sampaikan di media massa bahwa ada luka-luka kecil pada beberapa bagian tubuh almarhum Apin, diantaranya luka didahi, dan luka lecet akibat ditekan pada bibir bawah bagian dalam.
“Anehnya pernyataan dokter Monang Siahaan ini kembali berubah. Tadi saya zoom metting dengan penyidik juga Monang. Dia mencoba meralat hasil otopsinya menjelaskan bahwa almarhum mati karena karena pembekapan bukan dibekap,” ungkap Santi.
“Padahal dalam laporan yang ia buat saat sidang pra peradilan itu jelas tertulis hasil otopsi pembekapan tapi mereka ralat dengan mengatakan bahwa korban dibekap sampai meninggal bukan pembekapan saya punya bukti pernyataannya dan fakta itu juga yang memenangkan saya di sidang pra peradilan,” sambungnya.
Santi sapaan akrabnya menduga penanganan kasus kematian tak wajar Apin penuh rekayasa. Berikut beberapa kejanggalan-kejanggalan atas dugaan kematian tak wajar Apin yang ia beberkan kepada wartawan. Pertama, penanganan kasus kematian Apin yang dari awal direkayasa mati sering diubah-ubah.
“Waktu ditangani Kasat (Polres Sanggau) Tri Prasetio bilangnya Apin mati lemas tanpa sebab. Setelah ditangani Kasat Sulastri katanya Apin mati karena penyakit TBC dan ada mangkok darah tapi setelah ditanya ternyata juga tidak ada mangkok darah sehingga di SP3 oleh Sulastri. Tapi Tuhan berkata lain, dugaan permainan kata-kata mereka mulai sedikit terbongkar oleh hakim PN Sanggau yang mengabulkan permohonan saya untuk mencabut SP3 atas penghentian dugaan pembuhunan Apin yang dikeluarkan Polres Sanggau,” ujar Santi.
Kejanggalan Kedua menurut Santi, ada beberapa barang bukti seperti bantal yang dihilangkan dengan alasan adat. Ketiga, jika benar alamarhum meninggal wajar kenapa sampai ganti baju berkali-kali dan kenapa dihilangkan?. Keempat, jika dari awal almarhum meninggal wajar kenapa cepat sekali hendak dikuburkan? Pukul 07.00 dinyatakan meninggal pukul 09.00 sudah mau dikuburkan.
“Dan kami adik-nya bahkan tidak dikasih tahu?. Kelima, jika almarhum mati wajar kenapa saya sebagai adik kandungnya tidak diizinkan ketika mau bertemu dengan jasad kakak saya dengan alasan mayat kakak saya tidak boleh lebih dari satu malam,” lanjut Santi.
Keenam, jika dari awal almarhum mati wajar kenapa anak istri tidak mau melapor kepolisi. Ketujuh, selama setahun saya mencari tahu penyebab kematian almarhum, anak dan istri tidak perduli dan masa bodoh atas kasus tersebut. “Mereka justeru mengancam akan menjatuhkan adat kepada saya,” ungkapnya.
Kedelapan, tidak mungkin luka-luka yang dialami almarhum karena adanya tekanan dari atas karena kepalanya yang berat sehingga menyulitkan mendapatkan oksigen. Kesembilan, dokter mengatakan karena begitu banyak formalin yang disuntikan kedalam tubuh almarhum.
“Pertanyaan saya kalau memang matinya wajar kenapa harus diberikan banyak formalin yang disuntikan ke dalam tubuh almarhum, sedangkan almarhum saat itu mau langsung dikuburkan oleh anak istrinya, jadi untuk apa formalin itu? Ini dugaan saya persis seperti kasus Sambo, penuh rekayasa,” ungkap Santi yang mengaku kecewa atas ketidakprofesionalan oknum dari aparat kepolisian. (KiA)
Beri dan Tulis Komentar Anda