Oleh: Rosadi Jamani
KALIAN yang pernah baca tulisan saya, pasti merasa dekat dengan saya. Padahal, kita tidak kenal secara personal. Kedekatan itu karena setiap kalian komentar, pasti saya balas (kecuali lupa) minimal emoji love atau jempol. Inilah yang saya namakan Jurnalisme yang Menyapa (JYM). Terbangunnya hubungan emosional antara penulis dan pembaca. Saya ingin kenalkan dan terus populerkan JYM ini. Sebuah opsi baru di bidang jurnalisme. Simak narasinya sambil seruput Koptagul, wak!
Ada yang hilang dari jurnalisme kita hari ini. Bukan fakta, bukan kecepatan, bukan pula kecanggihan teknologi. Yang hilang justru sesuatu yang paling manusiawi, hubungan emosional antara penulis dan pembaca.
Media online tumbuh subur. Portal berita berserakan seperti warung kopi di pinggir jalan. Judul bersaing, klik diperebutkan, iklan saling menyalip. Tapi di tengah keramaian itu, pembaca justru merasa sendirian. Mereka membaca, lalu pergi. Tidak disapa. Tidak diajak bicara. Tidak dianggap ada. Di sinilah jurnalisme kehilangan rohnya.
Media yang Berbicara, Bukan Menyapa
Media arus utama hari ini lebih mirip pengeras suara ketimbang ruang dialog. Ia menyampaikan informasi, lalu selesai. Pembaca diperlakukan sebagai target, bukan sebagai subjek. Sebagai angka statistik, bukan sebagai manusia dengan emosi, pengalaman, dan luka sosial.
Tak heran jika banyak orang kini malas mengeklik tautan berita. Bukan semata karena iklan pop-up yang mengganggu, tapi karena tidak ada ikatan batin. Pembaca tidak merasa diajak masuk ke dalam cerita. Mereka hanya disuguhi laporan yang rapi, sopan, tapi dingin.
Bahasa jurnalistik menjadi terlalu steril untuk realitas yang gaduh.
Ketika Pembaca Menjadi Kawan
Di media sosial, situasinya berbeda. Di sana, penulis dan pembaca saling menyapa. Ada komentar, balasan, bahkan sekadar emoji hati or jempol. Sepele? Tidak. Di situlah jurnalisme menemukan kembali denyutnya.
Pembaca bukan lagi “audiens”, melainkan kawan. Mereka ikut bereaksi, mengkritik, memuji, bahkan memaki. Justru di situlah terjadi pertukaran emosi. Penulis merasakan denyut publik secara langsung, bukan lewat survei atau rating, melainkan lewat percakapan nyata.
Inilah yang bisa saya sebut sebagai jurnalisme gaya baru, atau lebih tepatnya, Jurnalisme yang Menyapa.
Apa Itu Jurnalisme yang Menyapa?
Jurnalisme yang Menyapa adalah praktik jurnalistik yang: Mengakui pembaca sebagai bagian dari proses jurnalistik. Tidak sekadar menyampaikan fakta, tetapi menghadirkan rasa. Membuka ruang dialog, bukan menutupnya dengan otoritas institusi
Dalam jurnalisme ini, penulis tidak berdiri di menara gading, melainkan turun ke ruang publik. Ia tidak hanya berbicara tentang masyarakat, tetapi bersama masyarakat.
Pembaca tidak lagi diposisikan sebagai konsumen berita, melainkan mitra percakapan.
Dari Netralitas ke Kejujuran Emosional

Jurnalisme yang Menyapa tidak menolak etika. Ia tidak mempromosikan hoaks. Tapi ia juga tidak memuja netralitas semu yang membuat berita kehilangan nyawa.
Netral bukan berarti dingin. Berimbang bukan berarti bisu. Etis bukan berarti pura-pura tidak tahu apa yang sedang ramai dibicarakan publik.
Jurnalisme yang Menyapa berani berkata:
“Kami tahu kegaduhan ini ada. Kami mendengarnya. Kami mencatatnya”.
Itu bukan penghakiman. Itu kejujuran kontekstual.
Risiko yang Disadari, Bukan Dihindari
Dalam jurnalisme gaya baru ini, penulis sadar akan risiko, yakni dikritik, diserang, bahkan dimaki. Tapi risiko itu diterima sebagai bagian dari percakapan publik. Sebab jurnalisme sejatinya bukan profesi yang mencari kenyamanan, melainkan makna.
Ketika pembaca marah, penulis belajar.
Ketika pembaca memuji, penulis diingatkan. Ketika pembaca mengkritik, jurnalisme bertumbuh. Itulah dinamika yang selama ini hilang dari media arus utama.
Reformasi Paradigma Jurnalistik
Mungkin inilah saatnya kita berhenti bertanya, “media mana yang paling besar?” dan mulai bertanya, “media mana yang paling dekat?”
Di era digital, kedekatan mengalahkan otoritas. Kepercayaan mengalahkan institusi. Kejujuran emosional sering kali lebih dipercaya dari bahasa resmi yang terlalu rapi.
JMY bukan ancaman bagi media. Ia justru kesempatan untuk pulang, pulang ke pembaca, pulang ke empati, pulang ke fungsi awal jurnalisme, menghubungkan manusia dengan realitasnya.
Jika jurnalisme ingin kembali dipercaya, ia harus belajar satu hal sederhana, menyapa, sebelum berbicara.
Ini masih dalam tahap awal. Tentu masih banyak penyempurnaan. Paling tidak opsi baru jurnalisme telah lahir. Kalian juga bisa ikut menyempurnakannya. Mudah-mudahan 2026 JYM ini bisa berkembang dan diterima secara luas oleh publik.
Penulis merupakan Ketua Satupena Kalbar.








Beri dan Tulis Komentar Anda